Jumat, 07 Januari 2011

NU Sebagai Benteng Islam dan Indonesia

Judul Buku: ISLAM NU; Pengawal Tradisi Sunni Indonesia
Penulis: Drs KH Busyairi Harits, M.Ag
Penerbit: Khalista, Surabaya
Cetakan: I, Agustus 2010
Tebal: 223 halaman
Ukuran Kertas: 14.5 x 21 cm (HVS)
Harga: Rp. 35.000,-

KEKERASAN dan terorisme atas nama agama di Indonesia dewasa ini semakin marak. Rentetan kejadian memilukan, mulai Bom Bali, Hotel JW Marriot dan Rich Carlton, penyerangan FKUB di silang monas, penyerangan HKBP di Bekasi, perampokan Bank Cimb Niaga di Medan hingga berita aktual saat ini yakni penyerangan Polsek di Medan, disinyalir dilakukan oleh sekelompok orang yang melegitimasi tindakannya dengan ajaran Islam. Akibatnya Islam yang pada dasarnya mengajarkan kedamaian seakan terkotori oleh perilaku segelintir umat yang bertindak bodoh atas nama ajaran Islam.

Fenomena keberislaman di atas jelas bertolak belakang dengan ajaran NU. Organisasi sosial keagamaan terbesar di Indonesia ini sedari awal kelahiran meneguhkan dirinya berideologi Ahlussunnah Waljamaah dan memiliki mainstream tawassuth (moderat), tawazzun (seimbang), serta tasammuh (toleran) dalam bersikap. Tentu saja NU yang lahir dari rahim para ulama yang diakui kapabelitas, integritas, kualitas ilmu keagamaannya, serta memiliki mata rantai keilmuan dengan para ulama salafus shalih lebih memilih strategi yang akomodatif dan lebih mengedepankan subtansi daripada simbol dalam berdakwah.

Hal tersebut senada dengan pernyataan mantan Ketua Umum PBNU, KH. Hasyim Muzadi: “Umat Islam sebaiknya langsung menjadikan Islam sebagai agama yang produktif, jangan lagi bertikai pada aspek simbolik, khilafah, atau tidak khilafah, syariat atau tidak syariat. Ya sudah, agama Islam kita laksanakan secara aplikatif, melahirkan persaudaraan, keadilan dan kemakmuran. Sehingga syariat jangan dipikirkan secara simbolik” (majalah Gatra 1 Mei 2006).

NU selama ini mengidentikkan dirinya dengan pola dakwah Walisongo yang berusaha menanamkan ajaran Islam melalui tradisi yang telah tertanam dalam masyarakat dalam batas tidak menyimpang dari ajaran Islam yang bersifat prinsip. Terbukti akulturasi budaya masyarakat dengan ajaran Islam yang dibawa Walisongo lebih berhasil mengislamkan mayoritas masyarakat Nusantara yang dahulunya beragama Hindu dan Budha tanpa tetesan darah. Walhasil, secara tidak sadar ajaran Islam dipahami sebagai tradisi yang menyatu dalam masyarakat. Dengan demikian NU merasa ikut bertanggung jawab membentengi umat dari pemahaman Islam yang sempit, skriptural serta puritan yang dapat menimbulkan sikap beragama yang kaku dan keras dan berakibat menjadi bumerang bagi eksistensi Islam itu sendiri.

Nasionalisme dan Aswaja, Inspirasi kelahiran NU

NU tidak lahir dalam ruang yang kosong, kelahiran NU tidak bisa dilepaskan dari konteks yang melingkupi baik aspek politik, sosial maupun ekonomi, dalam tataran nasional maupun internasional.

Pertama: Konteks Nasional. Sebagaimana ungkapan KH. Muhammad Dahlan Kebondalem, Surabaya, salah seorang pendiri NU: “Berdirinya NU adalah untuk menegakkan syariat Islam menurut ajaran Ahlussunnah Waljamaah dan mengajak bangsa ini untuk cinta kepada tanah airnya”. Hal itu merupakan salah satu indikasi bahwa kelahiran NU adalah respon terhadap kondisi bangsa Indonesia yang saat itu masih dalam cengkeraman penjajah Belanda, dengan harapan rasa nasionalisme tumbuh dalam jiwa warga Nahdlatul Ulama. Di samping itu, pada awal abad 20 pola gerakan perjuangan rakyat Indonesia dalam melawan penjajah mengalami perubahan dari gerakan fisik menuju gerakan intelektual dan terorganisir. Era ini diistilahkan dengan masa-masa kebangkitan Nasional, yakni menjamurnya organisasi politik maupun sosial keagamaan sebagaimana Budi Oetomo (1908), Serikat Islam (1912), Muhammadiyyah (1912) dan lain sebagainya.

Pada kurun tersebut para ulama dan santri tumbuh kesadaran bahwa penjajah tidak bisa dilawan secara terpisah-pisah, namun diperlukan strategi baru yakni pertama: memelihara, mengembangkan dan melestarikan jiwa dan semangat anti penjajahan. Kedua: mengusahakan persatuan di kalangan penduduk Nusantara yang telah memiliki kesamaan budaya, ras, dan agama. Ketiga: meningkatkan pendidikan kepada masyarakat dengan mendirikan madrasah atau pesantren-pesantren. Keempat: mendirikan organisasi yang bergerak dalam meningkatkan swadaya dalam berbagai bidang, khususnya ekonomi.

Berawal dari pemikiran tersebut para ulama berinisiatif mendirikan organisasi yang permanen. Hingga terbentuklah Nahdlatul Wathan (1916), kemudian Nahdlatut Tujjar (1918) dan Tashwirul Afkar. Dari organisasi-organisasi itulah menjelma Nahdlatul Ulama pada 1926 yang ditahbiskan sebagai organisasi sosial keagamaan.

Selain daripada itu, Nahdlatul ulama didirikan sebagai respon terhadap gerakan para pembaharu Islam (puritan) di Indonesia. Para pembaharu hasil didikan Wahabi Arab Saudi ini gencar merongrong tradisi dan amaliah keagamaan yang telah diajarkan para ulama Ahlussuunnah Waljamaah, yakni ajaran yang telah tanamkan oleh para Wali Songo yang berideologi Ahlussunnah Waljamaah di Indonesia.

Kedua: Konteks Internasional. Gagasan mendirikan muncul tidak bisa dilepaskan dari peristiwa gerakan Wahhabi yang berhasil menguasai tanah Arab (1925 M.). Kelompok berideologi puritan dan tekstual yang dipelopori Muhammad ibn Abdul Wahhab ini berkolaborasi dengan kekuasaan Raja Saud berhasil mengusir Raja Syarif Husein yang berhaluan Sunni. Hingga berakibat praktek keagamaan yang berhaluan Madzhab Empat, yakni Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i dan Imam Hanbali yang telah mapan di dunia Arab diberangus. Ziarah kubur, tawassul, membaca wirid, barjanji, dan burdah diharamkan, hingga tempat-tempat bersejarah sebagaimana makam para sahabat dan aulia’ diratakan dengan tanah.

KH. Hasyim Asy’ari, KH. Abdul Wahhab Hasbullah dan para ulama Indonesia yang mayoritas Sunni itu merasa prihatin jika Mekkah sebagai pusat agama Islam dikuasai Wahhabi dan larangan menjalankan kebebasan bermadzhab diberlakukan. Oleh karena itu, dibentuklah Komite Hijaz yang kemudian berubah menjadi NU sebagai organisasi yang memayungi Islam Ahlussunnah Waljamaah Indonesia untuk mengirimkan wakilnya menghadap Raja Saud. Adapun utusan tersebut dipercayakan kepada KH. Abdul Wahhab Hasbullah dan Syeikh Ghanaim dari Mesir sebagai jubir. Berkat kepiawaian diplomasi KH. Abdul Wahhab Hasbullah, Raja Saud meluluskan beberapa usulan yang mewakili ulama dan umat Islam Indonesia tersebut.

Pemaparan di atas merupakan hasil pembacaan isi buku berjudul “Islam NU; Pengawal Tradisi Sunni Indonesia” yang ditulis oleh KH A. Drs. Busyairi Harits, M.Ag mantan Ketua NU Kota Semarang dan kini menjabat sebagai Wakil Katib PWNU Jateng. Buku ini berusaha menjelaskan lahirnya komunitas sunni sebagai ideologi Nahdlatul Ulama. Kemudian dibeber pula sejarah berdirinya NU dalam konteks Islam global hingga factor-faktor pergulatan sosial keagamaan dan politik nasional. Selain itu, penulis mencoba menjelaskan doktrin-doktrin Aswaja dan garis besar pemikiran yang berlaku dalam mainstream Nahdlatul ulama, serta menguak beberapa tantangan dari Islam Puritan yang dipelopori oleh Wahhabi, baik yang ada di Saudi Arabia maupun yang makin marak di Indonesia. Setelah membaca buku ini, pembaca akan lebih mengetahui apa, dan bagaimana Nahdlatul Ulama berikut tantangan-tantangan yang perlu dihadapi. Wallahu a’lam. (Sumber: AULA Oktober 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar