Judul: Tarekat dalam Timbangan Syariat – Jawaban atas Kritik
Salafi Wahabi
Penulis: Nur Hidayat Muhammad
Penerbit: Muara Progresif
Harga: Rp. 30.000,-
Ekstrimisme kaum Salafi Wahabi (Sawah) terhadap kalangan
kaum penganut aliran sufi terus berlanjut hingga menjadi persoalan sosial dan
disintegrasi yang kronis dalam diri agama Islam. Berbagai tuduhan kafir, pengamal
bid’ah, dan bahkan musyrik kepada kaum sufi menjadi duri dalam daging umat
Islam. Mau tidak mau kita harus menyikapinya dengan penuh dengan kesabaran, kecerdasan,
dan kejernihan hati serta pikiran dalam menghadapi persoalan keyakinan-keagamaan
ini. Karena tentu persoalan keagamaan semacam ini memiliki daya keyakinan
masing-masing yang saling membentengi dengan dalil-dalil Islam.
Di Indonesia, keberadaan kaum Sawah tak lebih menjadi pseudo-enemies
dalam agama Islam. Stigma negatif dan vonis buruk bertubi-tubi dilayangkan
secara subyektif oleh salah satu sekte Islam (Sawah) yang merasa paling Qur’ani
dan Sunni kepada ajaran tasawuf dan pengamal tarekatnya. Mulai dari label perintis
bid’ah, pembela mimpi dan ilham setan, melenceng dari syariat, demen mistis dan
wirid-wirid bid’ah, pecinta hadits lemah dan palsu, pemuja wali dan guru, dan
macam ragam tuduhan lain yang variatif dan tak bersahabat (Hal. 4).
Kehadiran buku Nur Hidayat Muhammad ini bukan dalam rangka
memusuhi kalangan kaum Sawah. Namun tak lain mau berdamai dan berdialog via
buku secara ilmiah dengan kajian yang mendalam. Nah, uraian buku di atas
kiranya memberikan pandangan tersendiri di mata publik. Bisa saja publik
menganggap kaum sufi memang benar-benar kafir atau bisa saja mereka beranggapan
kaum Sawah yang diktator dan ekstrim sesama lingkup rumpun agama yang sama (Islam).
Setidaknya publik akan memiliki pandangan tersendiri dalam
menimbang siapa yang memusuhi dan berkawan di antara dua aliran yang tak
sepaham tersebut. Menurut imam al-Nawawi, penulis syarah Shahih Muslim, dalam
kitabnya, al-Maqashid menyebutkan bahwa asas dalam tasawuf yaitu; Pertama, bertakwa
kepada Allah Swt., baik dalam hati atau lahiriyah. Kedua, mengikuti al-Sunnah, baik
dalam perilaku atau ucapan. Ketiga, hatinya tidak terpasung melihat makhluk (dunia).
Keempat, ridha kepada Allah Swt., baik sedikit atau banyak. Kelima, kembali
kepada Allah Swt., baik saat lapang atau susah (Hal. 12-13).
Lima fondasi kaum sufi yang dinyatakan oleh imam al-Nawawi
dalam buku ini cukup mewakili dari struktur keberadaan penganut aliran sufi
yang ditodong dengan pisau kafir dan tali musyrik oleh aliran Sawah. Kejernihan
dalam berpikir dan keluwesan hati perlu kita kelola seelok mungkin, utamanya
dalam menghadapi persoalan aliran dan keyakinan dalam beragama agar tidak
mencoreng agama itu sendiri sebagai agama satu-satunya yang diyakini memberikan
kedamaian dan kebahagiaan bagi kehidupan umat manusia.
Berbagai doktrin keislaman yang beda aliran hingga beda
persepsi dalam memandang suatu fenomena perlu diselesaikan melalui pendekatan
khusus tanpa ekstrimisme dan tuduhan yang mencoreng agama. Karena secara tidak
langsung hal tersebut akan membangun pandangan negatif dan stereotip publik. Dengan
serta merta publik akan menyatakan bahwa Islam adalah agama konflik. Dan itu
secara lambat laun akan mengubah ruh agama Islam dari eksistensinya di ranah
global (lih. stereotip oleh A. Dardiri Zubairi, 2013:110-113).
Perseteruan antara aliran Salafi Wahabi dan kaum Sufi serta
termasuk Ahlus Sunnah wal Jama’ah masih belum ada jalan terang yang bisa
menerangi. Namun melalui jawaban sederhana yang mengena pada objek hukum
syariat Islam oleh Nur Muhammad Hidayat ini akan memberikan sedikit cahaya
terang benderang di antara dua aliran yang kontroversial tersebut. Secara jelas,
pelurusan dengan cara yang fleksibel dan tegas mengenai hukum-hukum Islam
kaitannya dengan adat istiadat di negeri ini juga harus menjadi pertimbangan
yang tidak boleh dilupakan sebagaimana khittah Islam yang ajarannya selalu
sesuai dengan situasi dan kondisi apapun.
Penyelesaian konflik kaum Sufi vs kaum Sawah harus berjalan
dengan sikap moderat, fleksibel, kritis dan lembut dalam menyampaikan sebuah tanggapan.
Serta dengan cara yang berdasar pada ranah damai berdasar pad timbangan hukum
dan syari’at Islam. Misalkan dalam hal algorisme mengenai kaum Sufi dan hadits
dhaif serta hadits palsu. Yang sangat mengesankan yaitu tuduhan Hartono Ahmad
Jaiz dalam bukunya dengan judul “Tasawuf Besitan Iblis” yang menuduh kaum sufi
menolak hadits shahih (Hal. 21-24).
Penegasian dalam menyelesaikan suatu problem bukan jalan
utama. Karena di balik itu akan bermunculan tanggapan saling todong dan bunuh
hingga akhirnya kedua belah pihak (Sufi dan Sawah) akan sama-sama mengalami
keruntuhannya. Bahkan bisa saja meruntuhkan peradaban kayakinan serta agama
yang dibanggakannya. Maka dari itu, sebuah afiliasi dalam menyelesaikan problem
yang membelit kaum Sufi dan Sawah perlu digiring ke ranah yang lebih damai dan
mendamaikan. Sebagai aliran yang mendapat pandangan tersendiri dari publik, maka
perlu memikirkan hal tersebut.
Dari segala variasi tuduhan dan ekstrimisme kaum Sawah
terhadap kaum Sufi dalam buku ini dicoba untuk diluweskan melalui pendakatan
hukum syariat Islam. Elaborasi dalam dua aliran tersebut perlu menjadi hal yang
sangat urgen dalam menimbang dan memutuskan suatu pendapat guna menjaga
eksistensi dan reputasi agama Islam. Karena tak dapat disangkal kedua aliran
tersebut berada dalam jalur mengikuti pantulan cahaya agama yang dibawa oleh
nabi Muhammad Saw. Sehingga tak layak kiranya dalam jalur yang sama terjadi
ekstrimisme dan tuduhan negatif terhadap aliran tertentu tanpa memandang ke
depan melalui argumen yang valid dan mencerahkan ummat.
Sumber: nusumenep.or.id (Resensi oleh Junaidi Khab)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar